Monday, November 2, 2009

Paulo Freire - Pendidikan Yang Membebaskan

Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire
dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia


oleh Marthen Manggeng

Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat
kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang
telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem
pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada
rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan
dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena
pendidikan yang demikian hanya menguntungkan
penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan
dengan sistem pendidikan yang baru.
Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire
menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang
menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan
tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang
ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai
menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.
Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi
lahirnya pemikiran yang kontroversial
mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks
Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada
keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di
belakang pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam
“membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin
dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem
pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia
tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif
Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam
konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus
merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang
berporos pada pemahaman tentang manusia.
a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo
Freire.
Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan
dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia1. Masa kanak-kanaknya
dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 19292.
Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia
bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah3. Ia meraih gelar doktor pada

tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam
kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem
pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari
pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap
masalah yang penekanan utamanya pada
penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di
kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan
pada tahun 19644 dan kemudian diasingkan ke Chile.
Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar
budayanya yang menimbulkan ketegangan5,tidak
membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”,
tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh
dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada
tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang
pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari
pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di
tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan
tidak “berpendidikan”6. Masyarakat feodal (hirarkis)
adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh
di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat
feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok
antara strata masyarakat “atas” dengan strata
masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi
penindas masyarakat bawah dengan melalui
kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan7, karena itu
menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi
semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan
ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas
itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu,
lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”8. Kesadaran refleksi kritis dalam
budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah.
Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari
ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari
ini” yang panjang, monoton dan membosankan9
sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan
datang belum disadari10. Dalam kebudayaan bisu yang
demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu
saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan,
ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya
kesadaran tentang ketertindasan mereka11. Itulah
dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi
untuk menguasai realitas hidup telah menjadi

kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang
dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan
yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan
intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu
yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.
Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apaapa.
Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka
bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk
menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari
kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai
bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam
mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang
dapat membebaskan dan memberdayakan adalah
pendidikan yang melaluinya nara didik dapat
mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang
relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah
mengajar untuk memampukan mereka
mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari
luar termasuk suara sang pendidik.
Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.
Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya
yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan
“gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber
yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu.
Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah”
sebagai jalan membangkitkan kesadaran
masyarakat bisu.
b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya
Bank”.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia
pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai
yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai
benda yang seperti wadah untuk menampung
sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin
banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam
“wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena
itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi,
murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang
diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti12. Nara
didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan
yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai
pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya
bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak
memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi
memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada
siswa untuk disimpan yang kemudian akan
dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan.
Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan
sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara
didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya
daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank
menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan
penindasan terhadap sesamanya manusia.

Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh
Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari
pemahamannya tentang manusia. Ia menolak
pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk
pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas
tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya
sendiri13. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang
berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam
relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di
dunia tetapi juga bersama dengan dunia14. Kesadaran
akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan
manusia berhubungan secara kritis dengan dunia.
Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti
binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan
mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan15. Tuhan
memberikan kemampuan bagi manusia untuk
memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi
seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu
pribadi yang lahir dari dirinya sendiri.
Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia
menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai
pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya.
Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire
disebut pendidikan “hadap-masalah”.
c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan
Alternatif.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan
alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari
konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah
yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan
hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara
terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada
dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada
nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.
Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi
untuk berkreasi dalam realitas dan untuk
membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi
dan politik16.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang
dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu
tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire
membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu17
:
1) Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya
terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan
sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang
menindas.
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis.
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya

bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran
ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah
kekuasaan orang lain atau hidup dalam
ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada
kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali
realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang
primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri
dengan elite, kembali ke masa lampau, mau
menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi
kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan
dialog18.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif
ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalahmasalah,
percaya diri dalam berdiskusi, mampu
menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.
Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat
hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah
pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis
transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa
seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran
tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari
kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan
kesadaran yang di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi gurumurid
(perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber
segala pengetahuan dengan murid yang menjadi
orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik
tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang
harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya
guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid
adalah sama-sama belajar dari masalah yang
dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai
subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru
bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang
memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman
dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu,
nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog
tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak
diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam
buku paket tetapi sejumlah permasalahan.
Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi
dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang
dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari,
misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama
peserta didik dan guru secara bersama-sama
menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang
menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik.
Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan
dengan memperhatikan berbagai kaitan dan
dampaknya. Dengan proses demikian nara didik
mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam
bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire
menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata
sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja
dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak
sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.
d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks I
ndonesia.
Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang
dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda
sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama19.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita
tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu
permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu
sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire
dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis
permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia
termasuk di Indonesia.
Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan
Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis
dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia,
tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan.
Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku
adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam
strata sosial yang mempunyai sebutan khas di
berbagai daerah. Sebagai contoh adalah stratifikasi
sosial dalam masyarakat Toraja dan dalam
masyarakat Bali. Dalam masyarakat Toraja strata
sosial disebut “Tana’”. Tana’ Bulawan (strata tertinggi)
adalah pemilik budak (tana’ koa-koa) dan sekaligus
pemilik harta dan kekuasaan yang “mutlak”. Walaupun
strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru
telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya
hampir sama dengan feodalisme tradisional.
Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah
kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai
ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada.
Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan
kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal
jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah
penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut
semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara
praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan
anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang
sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu.
Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris
“tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat
kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia
akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme

baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun
dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum
“tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang
berupaya membebaskan kaum tertindas untuk
menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan
kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit
menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus
membebaskan para penindas dari
kepenindasannya20.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik
Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan
pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi
hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara
materi yang disampaikan masih merupakan barang
asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana
manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa
kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah
pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan
mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang
didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah
sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan
dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa
adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang
belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru
adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan.
Pelaksanaan Pendidikan agama dalam gereja juga
tidak jauh berbeda dengan pendidikan dalam
sekolah-sekolah umum. Bahkan mungkin lebih
memprihatinkan sebab justru dalam gereja
pendekatan “indoktrinasi” lebih mendapat tekanan
yang dominan. Pengajaran di Sekolah Minggu dan
Katekisasi dan juga dalam kebaktian umum, peserta
didik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrin
yang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskan
dalam konteks yang berbeda dengan konteks
Indonesia masih menjadi senjata andalan untuk
“membungkam” kreativitas iman anggota Jemaat.
Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belum
diupayakan untuk dibaca dan dipahami dalam
konteks masyarakat Indonesia. Bukankah itu semua
yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan
“gaya bank”?
Catatan Kaki
1Denis Colins, Paulo Freire His Life, Works and Thought
(New York: Paulist Press, 1977), p. 5.
2Sumaryo, “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam
Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan
(Bandung: Alumni, 1981), p. 29. Cf Aloys Maryoto,
“Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut
Paulo Freire” dalam “Fenomena” Edisi 2/Th.V/1994,
p.18.

3Denis Colins, op.cit., p. 6.
4Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta:
LP3S, 1972), p. xii.
5Paulo Freire dan Antonio Faundez, Belajar Bertanya.
Pendidikan Yang Membebaskan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995), p. 6.
6Daniel S.Schipani, Religious Education Encounters
Liberation Theology (Alabama: Religious Education
Press, 1988), p. 12.
7Sumaryo, op. cit., p. 30.
8Aloys Maryoto, “Pendidikan Sebagai Proses
Penyadaran Menurut Paulo Freire” dalam “Fenomena”
Edisi 2/Th.V/1994, p. 18.
9Mudji Sutrisno, Pendidikan Pemerdekaan (Jakarta:
Penerbit Obor, 1995), p. 33.
10L. Subagi, “Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan.
Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich”, dalam Martin
Sardy (ed.),Pendidikan Manusia (Bandung: Alumni,
1985), pp. 104-105.
11 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4.
12Op. cit., p. 50.
13L. Subagi, op. cit.
14 Paulo Freire, Cultural Action For Freedom (Baltimore:
Penguin Book, 1970 ), p. 51.
15 Mudji Sutrisno, op. cit., p. 32.
16Daniel S. Schipani, Religious Education Encounters
Liberation Theology (Alabama: Religious Education
Press, 1988), p. 13.
17L.Subagi, op.cit., pp. 137-138. Cf. Mudji Sutrisno,
op.cit., pp. 41-42.
18Paulo Freire, Education For Critical Consciousness
(New York: The Seabury Press, 1973 ), p. 18.
19 Allen J.Moore, “Liberation and the Future of Christian
Education” dalam Jack L. Seymour and Donald E.Miller
(Ed.), Contemporary Approaches to Christian Education
(Nashville: Abingdon Press, 1984), pp. 106-110.
20Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp.10-12. Cf.
J.B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan
Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 73.

Paulo Freire dan Pembebasan

Freire: Pendidikan yang Membebaskan

Teori pendidikan telah berkembang dari teori dengan paradigma konservativisme sampai pada teori berparadigma ekstrem seperti liberalisme, liberasionisme sampai anarkisme. Teori pendidikan yang mempengaruhi tema tulisan ini berasal dari teori pendidikan Paulo Freire, seorang pendidik praksis revolusioner berbasis paradigma liberasionisme (pembebasan). Gagasan Freire banyak dianggap sebagai gagasan pembebasan penuh pendidikan institusional dan mengacu pada pembebasan masyarakat dalam mengenyam pendidikan. Gagasan ini banyak disetarakan dengan teori anarkis mengenai praktik ajar-mengajar yang dinilai sudah cenderung menjadi komoditas kapitalistik yang tidak lepas dari usaha pemenuhan kebutuhan semu terhadap tuntutan masyarakat semu produk sistem kapitalis. Putar-ulang seluruh gagasan pendidikan sebagai kritik terhadap sistem dan metode pendidikan yang sudah baku adalah gagasan para anarkis dari sini muncul istilah 'deschooling society' yang menyatakan sikap para anarkis. Freire kemudian sangat dekat dengan para penggagas anarkis ini terutama karena rasa antipati terhadap sistem kapitalistik dan karena sifat praksis serta revolusioner Freire.


Tatanan nilai positif Freire dapat disejajarkan dengan tema pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini: apakah institusi pendidikan berniat mencetak manusia mekanistis, atau berusaha untuk lebih menghasilkan manusia yang berbudaya? Manusia yang berbudaya di sini mungkin lebih diarahkan pada peraihan kebebasan dan humanisasi, sesuai dengan niat Freire.

Beberapa konsep Freire mengenai pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan dapat dilihat di bawah ini:
1. Pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan. Pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurah-hatian palsu kaum penindas untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan perasaan/idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Dari sini sang subjek-didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Pendidikan ini bukan bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas menjadi lebih terpelajar, tetapi untuk membebaskan dan mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan.
2. Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali.
3. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.


Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire

SECARA kebetulan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei bertepatan dengan meninggalnya filosof pendidikan terkemuka abad ke-20, Paulo Freire, pada 2 Mei 1997. Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan memperingati Hardiknas dengan mendiskusikan pemikiran Freire dan kemungkinan dikontekstualisasikan di Indonesia.

Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire." Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).

Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik pendidikan Freire berporos pada
keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa ermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain.

Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.

Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.

Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik
sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia
berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.

Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi
status quo.

Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.

PELAJARAN yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? .
Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?

Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk
melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo? Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan:

Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.
Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah,
bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?

Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.
Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi
pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?

Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi
struktur sosial yang tidak adil.

Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.
Saya pesimistis jika kedua kelompok itu telah terakomodir secara maksimal dalam RUU Sisdiknas. Jarang sekali mereka disinggung dalam perdebatan RUU ini. Karena itu, sudah saatnya kita memperhatikan sungguh-sungguh masa depan
kedua kelompok ini. Pendidikan kita sudah seharusnya berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepentingan masyarakat dominan.


Kehidupan
Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.
Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan [1] (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.
Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuat lingkaran budaya di seluruh negeri.
Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah mengasingkan diri untuk waktu singkat di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.
Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil pada 1974 (karena perseteruan politik antara serangkaian pemerintahan diktatur militer yang otoriter dengan Freire yang Kristen sosialis ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi.
Setelah setahun di Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik.
Pada 1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.
Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal.
Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire.
Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997.

Pendidikan Tanpa Awal Tanpa Akhir

Thursday, May 21, 2009
By borokoa
Oleh: Drs. Firman Harefa, S.Pd*

Pada hakikatnya, pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia mencapai kedewasaan. Sebagai suatu upaya menuju ke arah perbaikan hidup dan kehidupan manusia yang lebih baik, pendidikan harus berlangsung tanpa awal dan akhir, tanpa batas, ruang dan waktu.
Indonesia ditengah persaingan global, mutlak memerlukan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, jujur, berakhklak mulia, berkarakter dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Manusia Indonesia harus punya daya tahan dan daya saing paripurna.
Upaya apa yang harus dilakukan untuk memenuhi harapan itu? Tak ada jalur lain selain pendidikan sebagai jalur utama pengembangan SDM dan pembentukan karakter. Dalam pengertian lebih luas, eksistensi bangsa ini bergantung bagaimana manusia-manusia didalamnya mengelola dan memuliakan pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah kata kunci dalam mementukan nasib bangsa.
Ironi Pendidikan Kita
Belakangan, permasalahan pendidikan di Indonesia terus menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Bukan saja masalah hasil belajar yang rendah, tapi juga soal carut marut serta inkonsistensi aturan dan kebijakan tentang sistem pendidikan nasional. Soal rendahnya mutu pendidikan, jujur harus dikaui serta tak usah diperdebatkan lagi. Hasil survei dan penelitian baik tataran nasional maupun dunia membuktikan hal itu.
Pemerintah, setidaknya dalam berbagai peraturan telah melakukan upaya perbaikan. Bahwa hasilnya belum maksimal sesuai yang diharapkan, pasti ada yang salah atau kurang terperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Penulis tak hendak menyimpulkan karena pemerintah tentu lebih tau dimana dan apa saja yang harus diperbaiki.
Tapi yang jelas, kualitas dan mutu pendidikan Indonesia ketinggalan 20 tahun jika dibandingkan dengan negara Malaysia. Sekali lagi, ini tak perlu diperdebatkan karena survei dan penelitian yang bicara. 20 tahun silam, Indonesia menjadi acuan bagi Malaysia dalam hal
pendidikan. Mereka meminta pengiriman guru untuk mengajar di sekolah milik negara Malaysia. Pun, tak sedikit ketika itu pelajar asal Malaysia yang menuntut ilmu di Indonesia.
Kondisi dewasa ini justru terbalik. Pelajar Indonesia berbondong ke Malaysia. Mahasiswa Indonesia juga bangga menyandang gelar kesarjanaannya dari Malaysia sehingga negara yang 20 tahun lalu belajar dari Indonesia itu menjelma menjadi salah satu negara yang paling banyak dituju masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Ironis. Lalu timbul pertanyaan dimana salahnya? Pengembangan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, juga peningkatan kualitas manajemen sekolah telah dilakukan pemerintah. Tak cukup hanya itu, penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN dan APBD juga telah dilakukan. Hasilnya? Pendidikan kita tetap belum mampu keluar dari ketertinggalan dibanding perkembangan pendidikan negara lain.
Ada yang mengatakan pendidikan Indonesia tidak maju karena setiap kegiatan pendidikan selalu dijadikan konsumsi politik? Entahlah.
Kualitas dan Ketulusan Guru
Banyak yang percaya bahwa didunia ini cuma ada dua profesi yakni, guru dan bukan guru.
Sangat beralasan karena profesi apapun seperti hakim, jaksa, polisi, wali kota, gubernur hingga presiden dilahirkan dari profesi guru. Ini berarti, guru merupakan salah satu bagian penting sukses atau tidaknya dunia pendidikan. Guru adalah profesi yang sangat mulia.
Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2009 ini, barangkali ada baiknya kita memikirkan kembali fungsi dan peran guru. Saya bukan hendak mengatakan bahwa saat ini guru tak lagi sesuai peran dan fungsinya.
Tugas guru itu sangat berat dan tidaklah gampang jika dibandingkan profesi lainnya. Sebagai ujung tombak peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, seyogyanya guru tidak dan jangan dibebankan dengan berbagai tugas mengerjakan berbagai proyek fisik dan sejensinya selain mengajar, mengajar dan mengajar. Dalam kaitan ini, termasuklah mengembalikan kewenangan dan kewibawaan guru dan sekolah dalam menentukan kelulusan siswa yang selama ini telah dirampas oleh UN (Ujian Nasional).
Namun demikian, mengembalikan kewenangan dan kewibawaan guru itu bukan pula berarti dengan serta merta peningkatan kualitas pendidikan Indonesia langsung terdongkrak. Ada pandangan yang harus diubah baik oleh guru itu sendiri maupun generasi muda yang berniat menjadi guru.
Saat ini semakin nyata, generasi muda kita nyaris tidak memiliki kebanggaan menjadi guru, bahkan profesi guru pun sudah tidak dianggap sebagai profesi pilihan utama. Buktinya dapat dilihat dari minat lulusan sekolah menengah memilih perguruan tinggi. Pilihan menjadi guru kadang adalah keterpaksaan karena gagal memilih jurusan yang diinginkan. Akibatnya kita mendapatkan para pelaku pendidikan yang hilang dalam hal pengabdian.
30 tahun lalu, menjadi guru adalah kebanggaan tersendiri. Demikian juga peserta didik, sangat menghormati dan menghargai guru sehingga mendorong pengabdian guru memberikan apa yang dia miliki untuk peningkatan mutu pendidikan dan peningkatan kualitas merupakan yang
utama dari segalanya. Padahal di zaman itu yang namanya anggaran untuk dunia pendidikan dan fasilitas sangat terbatas. Tapi, mutu pendidikan kita setidaknya lebih bagus dari Malaysia.
Mungkin inilah yang kita lupakan, bahwa di zaman itu orang-orang yang menangani dunia pendidikan adalah orang-orang yang betul-betul memiliki niat mengabdi. Memiliki ketulusan. Mereka fokus, tak pernah berpikir bagaimana mendapatkan proyek, tidak pernah berfikir masalah apa yang mereka terima cukup atau tidak. Mereka jauh dari bicara masalah kesejahteraan.
Saat ini, ketika perhatian besar diberikan terhadap dunia pendidikan, mengapa justru banyak guru telah kehilangan nilai-nilai ketulusan, kejujuran, dan kebanggan tersebut?
Menurut hemat saya, selama 20 tahun terakhir pembangunan pendidikan Indonesia tidak berorientasi pada pengembangan mutu dan kualitas. Tapi lebih fokus pada pembangunan fisik. Anggaran 20 persen untuk dunia pendidikan justru lebih besar untuk birokrasi pendidikan ketimbang peningkatan mutu pendidikan. Lebih ekstremnya, ada anggapan bahwa 20 persen anggaran untuk dunia pendidikan tak lebih sekadar pencitraan politik.
Harapan
Sejarah dunia pendidikan di Indonesia mencatat bahwa dari dulu– entah sampai sekarang– belum satu partai politik, organisasi massa, atau lembaga negara yang mampu dan benar-benar berkomitmen mengubah wajah dunia pendidikan. Banyak elite politik membicarakan nasib pendidikan, mengklaim dirinya berkomitmen pada pendidikan, tetapi hanya untuk kepentingan politik semata.
Setelah Pemilu 2009 yang baru saja kita lalui, harapan itu agaknya bisa kita gantungkan pada mereka yang telah terpilih menjadi wakil rakyat. Dengan mereka kita berharap komitmen untuk memajukan dunia pendidikan tak sekedar kepedulian semu. Perlu dipahami benar hakikat pendidikan demi eksistensi sebuah bangsa. Pendidikan tanpa awal dan akhir serta tanpa ruang, batas dan waktu.
Semoga kejayaan 30 tahun silam dapat kita rengkuh kembali.
* Penulis adalah Kepala Bidang Lalu Lintas Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Kantor Administrator Pelabuhan Kelas I Dumai-Riau
This entry was posted on Thursday, May 21st, 2009 at 2:33 pm and is filed under Artikel Umum. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed.

Sistem Pendidikan Nasional

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Sistem Pendidikan Nasional
1. Pengantar
2. Bab I Ketentuan Umum
3. Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan
4. Bab III Hak Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan
5. Bab IV Satuan, Jalur, dan Jenis Pendidikan
6. Bab V Jenjang Pendidikan
7. Bab VI Peserta Didik
8. Bab VII Tenaga Kependidikan
9. Bab VIII Sumber Biaya Pendidikan
10. Bab IX Kurikulum
11. Bab X Hari Belajar dan Libur Sekolah
12. Bab XI Bahasa Pengantar
13. Bab XII Penilaian
14. Bab XIII Peranserta Masyarakat
15. Bab XIV Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
16. Bab XV Pengelolaan
17. Bab XVI Pengawasan
18. Bab XVII Ketentuan Lain-lain
19. Bab XVIII Ketentuan Pidana
20. Bab XIX Ketentuan Peralihan
21. Bab XX Ketentuan Penutup
Pengantar
Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan melalui undang-undang berupa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 dan ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989.
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang ;
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ;
3. Sistem pendidikkan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional ;
4. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya;
5. Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditempatkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran;
6. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;
7. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan;
8. Tenaga pendidikan adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik;
9. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar;
10. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana, dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
11. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional.
Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan
Pasal 2
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
Pasal 4
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Bab III. Hak Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan
Pasal 5
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk nemperoleh pendidikan.
Pasal 6
Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.
Pasal 7
Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 8
1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa.
2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab IV. Satuan, Jalur, dan Jenis Pendidikan
Pasal 9
1. Satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
2. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan bersinambungan.
3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan sejenis.
Pasal 10
1. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.
2. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan.
3. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
4. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak menyangkut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
1. Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
2. Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat- tingkat akhir masa pendidikan.
3. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu.
4. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
5. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Depatemen Pemerintah atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.
6. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
7. Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
8. Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.
9. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bab V. Jenjang Pendidikan
Bagian Kesatu Umum
Pasal 12
1. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah.
3. Syarat-syarat dan tata cara pendirian serta bentuk satuan, lama pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pendidikan Dasar
Pasal 13
1. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
2. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, bentuk satuan, lama pendidikan dasar, dan penyelenggaraan pendidikan dasar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
1. Warga negara yang berumur 6 (enam) tahun berhak mengikuti pendidikan dasar.
2. Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
3. Pelaksanaan wajib belajar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pendidikan Menengah
Pasal 15
1. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan.
3. Lulusan pendidikan menengah yang memenuhi persyaratan berhak melanjutkan pendidikan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Pendidikan Tinggi
Pasal 16
1. Pendidikan tinggi merupakan kelanjutkan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyakarat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.
2. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
3. Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian tertentu.
4. Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
5. Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu.
6. Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
7. Unversitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
8. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, struktur perguruan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
1. Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
2. Sekolah tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/ atau profesional.
3. Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional.
Pasal 18
1. Pada perguruan tinggi ada gelar sarjana, magister, doktor, dan sebutan profesional.
2. Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.
3. Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan.
4. Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.
5. Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan.
6. Jenis gelar dan sebutan, syarat-syarat dan tata cara pemberian, perlindungan dan penggunaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
1. Gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memiliki gelar dan/atau sebutan yang bersangkutan.
2. Penggunaan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan atau dalam bentuk singkatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20
Penggunaan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh dari perguruan tinggi di luar negeri harus digunakan dalam bentuk asli sebagaimana diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan, secara lengkap ataupun dalam bentuk singkatan.
Pasal 21
1. Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor.
2. Pengangkatan guru besar atau profesor sebagai jabatan akademik didasarkan atas kemampuan dan prestasi akademik atau keilmuan tertentu.
3. Syarat-syarat dan tata cara pengangkatan termasuk penggunaan sebutan guru besar atau profesor ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
2. Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab VI. Peserta Didik
Pasal 23
1. Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 24
Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut:
1. mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
2. mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan;
3. mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku;
4. pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki;
5. memperoleh penilaian hasil belajarnya;
6. menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan;
7. mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
Pasal 25
1. Setiap peserta didik berkewajiban untuk
1. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. mematuhi semua peraturan yang berlaku;
3. menghormati tenaga kependidikan;
4. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban, dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.


Pasal 26
Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing- masing.
Bab VII. Tenaga Kependidikan
Pasal 27
1. Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
2. Tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
3. Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen.
Pasal 28
1. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar.
2. Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.
3. Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan tenaga keguruan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
1. Untuk kepentingan pembangunan nasional, Pemerintah dapat mewajibkan warga negara Republik Indonesia atau meminta warga negara asing yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu menjadi tenaga pendidik.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak- hak berikut:
1. memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial :
a. tenaga kependidikan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan peraturan umum yang berlaku bagi pegawai negeri;
b. Pemerintah dapat memberi tunjangan tambahan bagi tenaga kependidikan ataupun golongan tenaga kependidikan tertentu;
c. tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memperoleh gaji dan tunjangan dari badan/perorangan yang bertanggung jawab atas satuan pendidikan yang bersangkutan;
2. memperoleh pembinaan karir berdasarkan prestasi kerja;
3. memperoleh perlindungan hukum dalam melakukan tugasnya;
4. memperoleh penghargaan seuai dengan darma baktinya;
5. menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 31
Setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk :
1. membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. menjunjung tinggi kebudayaan bangsa;
3. melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian;
4. meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa;
5. menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 32
1. Kedudukan dan penghargaan bagi tenaga kependidikan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasinya.
2. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Pemerintah.
3. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Bab VIII. Sumber Daya Pendidikan
Pasal 33
Pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan/atau keluarga peserta didik.
Pasal 34
1. Buku pelajaran yang digunakan dalam pendidikan jalur pendidikan sekolah disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Buku pelajaran dapat diterbitkan oleh Pemerintah ataupun swasta.
Pasal 35
Setiap satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar.
Pasal 36
1. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah.
2. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan.
3. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Bab IX Kurikulum
Pasal 37
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Pasal 38
1. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.
Pasal 39
1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat :
a. pendidikan Pancasila;
b. pendidikan agama;
c. pendidikan kewarganegaraan.
3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang :
a. pendidikan Pancasila;
b. pendidikan agama;
c. pendidikan kewarganegaraan;
d. bahasa Indonesia;
e. membaca dan menulis;
f. matematika (termasuk berhitung);
g. pengantar sains dan teknologi;
h. ilmu bumi;
i. sejarah nasional dan sejarah umum;
j. kerajinan tangan dan kesenian;
k. pendidikan jasmani dan kesehatan;
l. menggambar; serta
m. bahasa Inggris.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bab X. Hari Belajar dan Libur Sekolah
Pasal 40
1. Jumlah sekurang-kurangnya hari belajar dalam 1 (satu) tahun untuk setiap satuan pendidikan diatur oleh Menteri.
2. Hari-hari libur untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Menteri dengan mengingat ketentuan hari raya nasional, kepentingan agama, dan faktor musim.
3. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat mengatur hari-hari liburnya sendiri dengan mengingat ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Bab XI. Bahasa Pengantar
Pasal 41
Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia.
Pasal 42
1. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
Bab XII. Penilaian
Pasal 43
Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian.
Pasal 44
Pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional.
Pasal 45
Secara berkala dan berkelanjutan Pemerintah melakukan penilaian terhadap kurikulum serta sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan.
Pasal 46
1. Dalam rangka pembinaan satuan pendidikan, Pemerintah melakukan penilaian setiap satuan pendidikan secara berkala.
2. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara terbuka.
Bab XIII. Peranserta Masyarakat
Pasal 47
1. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
2. Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.
3. Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab XIV. Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
Pasal 48
1. Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan Menteri berkenaan dengan sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.
2. Pembentukan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan pengangkatan anggota-anggotanya dilakukan oleh Presiden.
Bab XV. Pengelolaan
Pasal 49
Pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah tanggung jawab Menteri.
Pasal 50
Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang dislenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri dan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 51
Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Bab XVI. Pengawasan
Pasal 52
Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun oleh masyarakat dalam rangka pembinaan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 53
Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggara satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
Bab XVII. Ketentuan Lain-lain
Pasal 54
1. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri khusus bagi peserta didik warga negara adalah bagian dari sistem pendidikan nasional.
2. Satuan pendidikan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia oleh perwakilan negara asing khusus bagi peserta didik warga negara asing tidak termasuk sistem pendidikan nasional.
3. Peserta didik warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka kerja sama internasional atau yang diselenggarakan oleh pihak asing di wilayah Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Bab XVIII. Ketentuan Pidana
Pasal 55
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 18 (delapan belas) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.
Pasal 56
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 29 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelanggaran.
Bab XIX. Ketentuan Peralihan
Pasal 57
1. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.
Bab XX. Ketentuan Penutup
Pasal 58
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini,
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 59
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diumumkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pendidikan dan Kualitas SDM

PENDIDIKAN
PERAN PENDIDIKAN
DALAM PENINGKATAN KUALITAS SDM
MENUJU KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Oleh:
Prof. Dr. Robert Sibarani, MS
Ketua LPPM USU
Rektor Universitas Darma Agung
 Apa itu Pendidikan?
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa, dan negara.
• Pendidikan adalah proses pengubahan pengetahuan, sikap, dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.
• Pendidikan:
1. usaha sadar dan terencana
2. suasana belajar dan proses pembelajaran
3. mengembangkan potensi dirinya
4. dirinya, masyarakat,bangsa, dan negara.

PENDIDIKAN KOMPETETIF
• Pendidikan adalah proses pengubahan pengetahuan, sikap, dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.
• Kompetitif berarti mampu bersaing karena memiliki kompetensi yang lebih unggul.
• Pendidikan kompetitif adalah proses pengubahan pengetahuan, sikap, dan tata laku seseorang atau kelompok manusia sehingga memiliki kompetensi yang lebih unggul untuk mampu bersaing di masyarakat atau pasar kerja.
KOMPETENSI
1. Pengetahuan yang memadai (to know).
2. Keterampilan dalam melaksanakan tugas secara profesional (to do).
3. Kemampuan untuk tampil dalam persejawatan dalam bidang ilmu atau profesi (to be).
4. Kemampuan untuk memanfaatkan bidang ilmu untuk kepentingan bersama secara etis (to live together).
Pendidikan kompetitif harus dapat menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki keempat kompetensi di atas.

PENDIDIKAN BERMUTU
• Pendidikan adalah industri jasa atau industri pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
• Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya.
• Pelanggan adalah pasar kerja dan masyarakat yang memiliki kebutuhan dan harapan
Mutu dalam pendidikan hanya dapat diraih dengan kerja sama pendidik dengan anak didik.

USAHA MENGHASILKAN MUTU
• Ciptakan situasi menang-menang!
• Tumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri setiap orang!
• Berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang!
• Kembangkan kerja sama!
Dalam mencapai mutu, harus diperhatikan input, proses,dan output, tetapi lebih berfokus pada proses dan hasil jangka panjang.

PENDIDIKAN KOMPETITIF
• Pendidikan kompetitif harus memiliki keunggulan kualitas yang dapat dibanggakan.
• Kualitas pendidikan yang dituntut dalam pasar kerja global bukan lagi hanya keunggulan komparatif (comparative excellence), melainkan juga keunggulan kompetitif (competitive excellence).



TIPE ORANG BERDASARKAN PENGETAHUANNYA

• Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya

• Ketahuilah apa yang kamu tahu dan ketahuilah yang belum kamu tahu!
Mau dan mampu
Mau, tetapi tidak mampu
Mampu, tetapi tidak mau
Tidak mau dan tidak mampu

Monday, October 26, 2009

Dunia Pendidikan Alternatif

http://www.duniapendidikanalternatif.blogspot.com adalah salah satu blog yang tergabung didalam group http://www.yanuarmangulo.blogspot.com.
Blog Dunia Pendidikan Alternatif ini dibuat secara khusus untuk mengurai mengenai dunia pendidikan alternatif sebagai salah satu solusi alternatif dibidang pendidikan oleh karena berbagai kelemahan yang dimiliki oleh dunia pendidikan formal(sistem ) di indonesia selama ini.
Blog Dunia Pendidikan Alternatif merupakan blog sebagai media alternatif untuk penyimpanan berbagai artikel, refferensi dan serba-serbi dunia pendidikan alternatif di Indonesia.